KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
DAN SULAWESI
DISUSUN OLEH :
Kevin Pratama Sugiarto
(X
MIPA 2/19)
Sejarah
Indonesia
SMA
Negeri 1 Wonosari
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
A.
Kerajaan
Pontianak
1)
Kondisi
Geografis
Kerajaan
Pontianak didirikan di persimpangan antara Sungai Landak, Kapuas Kecil, dan
Kapuas Besar. Pusat pemerintahan Kerajaan Pontianak ditandai dengan berdirinya
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman dan Istana Kadriah yang sekarang terletak di
Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Struktur tanah di Pontianak
termasuk jenis tanah liat. Jenis tanah ini merupakan bekas endapan lumpur
Sungai Kapuas. Keadaan tanah ini sangat labil dan daya dukungnya bagi pertanian
sangat indahan rendah.
2)
Kehidupan
Politik
Berdirinya Kerajaan
Pontianak tidak lepas dari peranan rombongan dakwah dari Tarim. Rombongan
tersebut terdiri atas beberapa ulama yang bertujuan untuk mengajarkan Alquran,
ilmu fikih, dan ilmu hadis. Salah satu rombongan dakwah tersebut adalah Syarif
Idrus. Syarif Idrus bersama anak buahnya menyusuri Sungai Kapuas sambil
berdakwah hingga menetap di suatu tempat yang kemudian berkembang menjadi pusat
Kota Pontianak. Pada perkembangan selanjutnya Syarif Idrus diangkat sebagai
pemimpin masyarakat Pontianak dengan gelar Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus.
Syarif Idrus kemudian membangun Istana Kadriah dan benteng pertahanan dari
kayu. Sejak saat itu, rakyat Pontianak menganggap Syarif Idrus sebagai raja
Pontianak. Penobatan Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus sebagai raja Pontianak
dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau. Penobatan tersebut
dihadiri oleh para pemimpin dari sejumlah kerajaan, antara lain Kerajaan Matan,
Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Syarif Idrus
Abdurrahman al-Alydrus memang memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga
Kesultanan Riau. Syarief Idrus adalah menantu Opu Daeng Manambon, sedangkan
Sultan Raja haji adalah putra Daeng Celak, saudara sekandung Opu Daeng
Manambon. Syarif Idrus memerintah Kerajaan Pontianak pada tahun 1771-1808.
3)
Kehidupan
Ekonomi
Perekonomian
kerajaan Pontianak sangat bergantung pada kegiatan perdagangan. Kegiatan
perdagangan Kerajaan Pontianak berkembang pesat karena letak Pontianak berada
di persimpangan tiga sungai. Selain itu, kerajaan Pontianak membuka pelabuhan
sebagai tempat interaksi dengan pedagang dari luar.
Komoditas
utama perdagangan Pontianak antara lain garam, berlian, emas, lilin, rotan,
tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra lada, dan
kelapa. Perdagangan garam menyebabkan banyak pedagang dari luar Pontianak
tertarik berdagang di Pontianak. Melalui perdagangan pula VOC dapat menanamkan
pengaruhnya di Pontianak. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak melakukan hubungan
dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Pada masa pemerintahan Sultan
Syarif Muhammad Alqadrie banyak pemilik modal yang berasal dari Riau,
Palembang, Batavia, Malaka, dan India menanamkan modalnya di bidang perkebunan.
Bersama petani dari Bugis dan Melayu, para pemilik modal membuka perkebunan
karet, kelapa, dan kopra di Pontianak.
4)
Kehidupan Agama
Islam
merupakan agama yang mendominasi Kerajaan Pontianak. Perkembangan agama Islam
di Pontianak tidak dapat dilepaskan dari peranan rombongan pendakwah dari
Tarim. Salah satu ulama terkenal dan melakukan syair Islam adalah Habib Husein
al-Gadri. Dengan kesaktiannya, Habib Husein berhasil menarik simpati rakyat
Pontianak memeluk Islam. Habib Husein melaksanakan kegiatan dakwahnya secara
berpindah-pindah. Setelah berdakwah di matan. Habib Husein memindahkan
dakwahnya ke Mempawah hingga wafat. Setelah wafat, peranan dakwah Habib Husein
akan digantikan putranya yang bernama Pangeran Sahid Abdurrahman Nurul Alam.
5)
Kehidupan Sosial
Secara sosial
masyarakat Pontianak dikelompokkan berdasarkan perbedaan etnis. Pada saat itu
masyarakat Pontianak terbagi atas tiga etnis, yaitu masyarakat asli(Dayak),
kelompok pedagang(Melayu, Bugis, dan Arab) dan imigran Cina. Suku Dayak sebagai
penduduk asli Kalimantan biasanya tinggal didaerah pedalaman. Komunitas ini
dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural.
Kelompok pedagang Melayu, Bugis, dan Arab dikenal sebagai pengaruh Islam
terbesar di Pontianak. Kelompok pedagang ini lebih menekankan aspek
sosio-historis sebagai kelas penguasa. Adapun imigran dari Cina lebih memilih
tinggal di daerah pesisir yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.
B.
Kerajaan Banjar
1)
Kondisi Geografis
Kerajaan Banjar terletak di Kalimantan Selatan. Pusat
Kerajaan Banjar diperkirakan terletak di Hulu Sungai Nagara, Banjarmasin.
Sungai Nagara memiliki peran penting bagi perkembangan Kerajaan Banjar dan
kerajaan pendahulunya. Sungai Nagara digunakan sebagai sumber kehidupan bagi
hampir seluruh masyarakat di Kalimantan baik di Banjarmasin maupun wilayah
lainnya seperti Balikpapan, Kandangan, dan Amuntai. Daerah sekitar Sungai
Nagara merupakan wilayah paling subur di Kalimantan. Faktor kesuburan inilah
yang menyebabkan wilayah Sungai Nagara berkembang menjadi pusat Kerajaan
Banjar.
2)
Kehidupan Politik
Raja pertama Kerajaan Banjar adalah Sultan Suryanullah.
Selain sebagai raja pertama, dalam Hikayat Banjar Diceritakan bahwa Sultan
Suryanullah merupakan pendiri Kerajaan Banjar. Nama asli Sultan suryanullah
adalah Pangeran Samudra. Sebelum masuk Islam, Pangeran Samudra adalah seorang
bangsawan Kerajaan Daha dalam memerintah Kerajaan Banjar Pangeran Samudra
dibantu oleh beberapa patih yaitu sejak masa pemerintahan Patih Masin, Muhur,
Balit, dan Kuwin.
Sejak masa pemerintahan Sultan Suryanullah Kerajaan Banjar
meluaskan wilayah kekuasaannya hingga Sambas, Bantanglawai Sukadana,
Kotawaringin, Sampit, Madani, dan Sambangan. Pada masa Sultan Mustain Billah,
ibu kota Kerajaan Banjar dipindahkan dari Hulu Sungai Nagara ke Martapura.
Sultan Mustain Billah dianggap raja terbesar Banjar karena memiliki kekuatan
cukup besar dengan 50.000 prajurit. Pada masa ini pula Kerajaan Banjar terlihat
konfrontasi dengan kerajaan Mataram yang saat itu dipimpin Sultan Agung. Akan
tetapi, karena Banjar memiliki pasukan yang kuat, usaha Mataram untuk menguasai
Banjar akhirnya gagal. Pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah, Kerajaan
Banjar berusaha meluaskan wilayah kekuasaan. Wilayah yang berhasil dikuasai
Kerajaan Banjar meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,
dan Kalimantan Utara. Bahkan, Kesultanan Brunei pun tunduk kepada Kerajaan
Banjar dengan selalu mengirim upeti sebagai bentuk ketaatan.
3)
Kehidupan Ekonomi
Perekonomian Kerajaan Banjar bergantung pada kegiatan
perdagangan dan pertanian. Kegiatan perdagangan Banjar cukup berkembang karena
letaknya berada di tepi Sungai Nagara yang cukup lebar. Lada merupakan
komoditas dagang utama Kerajaan Banjar yang diperjualbelikan oleh banyak
pedagang dari Demak dan Gowa. Kegiatan pertanian Kerajaan Banjar berkembang
karena Sungai Nagara memiliki debit air cukup deras dan membawa endapan aluvial
yang berguna bagi kegiatan pertanian. Pada tahun 1967 terjadi migrasi perdagangan
Mataram dari Jawa akibat agresi yang dilakukan VOC terhadap Mataram. Kedatangan
imigran dari Jawa memiliki pengaruh cukup besar bagi Banjar. Pelabuhan Banten
menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa. Perang Makassar yang terjadi antara
Kerajaan Gowa Tallo dan VOC juga menyebabkan banyak pedagang memilih
memindahkan kegiatan perdagangannya dari pelabuhan Sombaopu ke Banjar.
4)
Kehidupan Agama
Kehidupan keagamaan Kerajaan Banjar tidak dapat dilepaskan
dari peranan raja dan ulama. Sultan Suryanullah adalah raja pertama yang
memeluk agama islam dan menjadikan islam sebagai agama resmi kerajaan.
Perhatian sultan terhadap agama Islam cukup besar yang dibuktikan dengan
pembangunan masjid Kesultanan Banjar sebagai pusat ibadah umat islam. Selain
itu, sultan dan ulama merupakan satu-kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
syariat islam di Kerajaan Banjar. Hubungan baik antara ulama dan Sultan
Suryanullah terlihat jelas dalam kitab Sabilul Muhatadin dan Parukunan yang
ditulis atas permintaan Sultan Suryanullah. Kedua kitab tersebut kemudian
dijadikan pedoman hukum Kerajaan Banjar.
5)
Kehidupan Sosial
Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial
yang berbentuk segitiga piramida. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang
merupakan golongan minoritas. Lapisan kedua adalah orang-orang Belanda. Lapisan
terbawah adalah petani, pedagang, dan nelayan yang merupakan golongan
mayoritas.
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
A. Kerajaan Gowa Tallo
1)
Kondisi Geografis
Kerajaan Gowa Tallo memiliki letak strategis karena berada di
pantai Barat Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa Tallo beribu kota di Makassar
dibatasi oleh Selat Makassar di sebelah barat, Laut Flores di sebelah selatan,
dan Teluk Bone di sebelah timur. Keadaan alam tersebut mendorong masyarakat
Makassar menjadi pelaut ulung. Selain itu, Makassar memiliki kondisi tanah
relatif datar. Dengan keberadaan dua sungai, yaitu Sungai Tallo dan Sungai
Jeneberang, tanah di sekitar Kota Makassar dapat dikelola menjadi lahan
pertanian. Kedua sungai tersebut sering mengendapkan sedimen lumpur yang
kemudian membentuk tanah aluvial. Tanah ini bersifat subur dan cocok untuk
pertanian. Dengan kondisi tanah yang subur dan letak strategis, Kerajaan Gowa
Tallo dapat berkembang sebagai kerajaan besar di Indonesia Timur.
2)
Kehidupan Politik
Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin (1593-1639), Kerajaan
Gowa Tallo berkembang menjadi kerajaan Islam. Sultan Alaudin berusaha untuk
mengislamkan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Upaya ini mendapatkan perlawanan
dari Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng yang kemudian membentuk persekutuan
Tellum Pocco (tiga kekuasaan). Akan tetapi, satu persatu kerajaan tersebut
dapat ditaklukan oleh Sultan Alaudin. Selain menaklukkan kerajaan-kerajaan
tetangga Sulawesi Selatan, Sultan Alaudin memperluas pengaruh Gowa Tallo hingga
ke bagian timur kepulauan Nusa Tenggara. Berbagai penaklukan yang dilakukan
oleh Sultan Alaudin telah mendorong perkembangan pelayaran dan perdagangan Gowa
Tallo perkembangan pelayaran dan perdagangan menyebabkan kesejahteraan
masyarakat Gowa Tallo meningkat.
Kerajaan Gowa Tallo mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil membangun Gowa Tallo
menjadi kerajaan maritim yang menguasai jalur perdagangan di Indonesia Timur.
Sultan Hasanudin sangat menentang tindakan VOC untuk melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah di Indonesia Timur. Upaya Sultan Hasanudin tersebut
menimbulkan kemarahan VOC. Oleh karena itu, pada tahun 1666 VOC mengirimkan
armada perangnya ke Makassar. Selanjutnya pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin
dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang berisi kesepakatan berikut.
a)
VOC memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makasar.
b)
VOC mendirikan benteng pertahanan di Makasar.
c)
Gowa Tallo harus melepaskan daerah-daerah kekuasaannya.
d)
Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
3)
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Gowa Tallo memiliki letak strategis. Kedekatan
geografis dengan Maluku menyebabkan Kerajaan Gowa Tallo menjadi pintu gerbang
perdagangan rempah-rempah. Pelabuhan Sombaopu berkembang menjadi bandar
transito yang berperan sebagai penghubung jalur perdagangan antara Malaka,
Jawa, dan Maluku. Kondisi ini kemudian mendorong Gowa Tallo berkembang menjadi
kerajaan maritim yang menitikberatkan pada perekonomian perdagangan dan
pelayaran. Selain mengembangkan sektor perdagangan maritim, Kerajaan Gowa Tallo
merupakan negeri penghasil beras di Pulau Sulawesi. Wilayah pedalaman yang
subur di Gowa Tallo dikembangkan sebagai lahan pertanian padi. Selain itu
Kerajaan Gowa Tallo berusaha menaklukan Bone yang menjadi salah satu daerah
penghasil beras di Sulawesi Selatan. Dengan melimpahnya beras, penduduk Gowa
Tallo dapat mencapai swasembada pangan.
4)
Kehidupan Agama
Perkembangan Islam di Gowa Tallo berkaitan erat dengan peran
Datuk ri Bandang dari Minangkabau. Bersama Datuk Patimang dan Datuk ri Tiro,
Datuk ri Bandang menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Berkat usaha
mereka, pada tahun 1605 penguasa Gowa Tallo, Karaeng Matoaya memeluk agama
Islam dan bergelar Sultan Alaudin. Setelah Sultan Alaudin memeluk Islam, proses
Islamisasi di Sulawesi Selatan berkembang pesat. Pada masa pemerintahan Sultan
Alaudin, Kerajaan Gowa Tallo menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di
Sulawesi. Pada pertengahan abad XVII Masehi di Gowa Tallo berkembang ajaran
sulfisme dari tarekat khalwatiyah
yang diajarkan oleh Syekh Yusuf al-Makasari.
5)
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Gowa Tallo cenderung bersifat
feodalisme. Masyarakat Gowa Tallo dibedakan atas tiga kelas, yaitu karaeng (golongan bangsawan), tumasaraq (rakyat biasa), dan ata (budak). Rakyat Gowa Tallo sangat
setiap pada rajanya. Kesetiaan ini terlihat saat Sultan Alaudin memeluk Islam,
rakyat Gowa Tallo kemudian mengikuti agama yang dianut oleh rajanya. Untuk
menghindari sistem feodalisme, banyak rakyat Gowa Tallo yang memiliki hidup
sebagai pelaut.
B. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah
sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi
Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja
Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Sejarah Wajo berbeda
dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan
To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan
pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang
dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir
Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya
yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai
orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik.
Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung
terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri
Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan
sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian
hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga
meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra
mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan
kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung
Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We
Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La
Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi
mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V.
Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya
berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu
Kajuru.
La Tenritau menguasai
wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng
menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali.
La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru
disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga
sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka.
Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo.
La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga
sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut
Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah
menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng
Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng
menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Sumber :
-
Buku
paket Sejarah Indonesia Intan Pariwara
No comments:
Post a Comment