Tuesday, February 13, 2018

Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa


KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA



DISUSUN OLEH :
Kevin Pratama Sugiarto
(X MIPA 2/19)


Sejarah Indonesia
SMA Negeri 1 Wonosari
A.      Kerajaan Demak

1)        Kondisi Geografis
Kerajaan Demak terletak di pesisir utara Jawa Tengah. Lingkungan alam Demak cukup subur dan cocok untuk pertanian. Keberadaan Kali Tuntang, Kali Buyaran, dan Kali Serang memengaruhi perkembangan pertanian di Demak. Selain digunakan untuk irigrasi pertanian sawah, ketiga sungai tersebut juga ikut menyuburkan tanah pertanian dengan sedimen lumpur yang subur. Wilayah Demak pedalaman yang subur menyediakan hasil panen yang melimpah. Sementara itu, wilayah pesisir digunakan sebagai pelabuhan dagang. Pada awal abad XVI pelabuhan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan internasional di wilayah pantai utara Jawa. Oleh karena itu, Demak dapat berkembang menjadi kerajaan besar dan mampu menaklukkan Kerajaan Majapahit.

2)        Kehidupan Politik
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada awal abad XVI. Raden Patah berkuasa pada tahun 1500-1518. Sepeninggal Raden Patah, Demak dipimpin oleh Pati Unus. Ia sangat terinspirasi oleh Gajah Mada untuk menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim terbesar di Indonesia seperti Majapahit. Oleh karena itu, Pati Unus Membangun angkatan laut yang kuat. Dengan angkatan laut tersebut Pati Unus pernah menyerang Malaka yang dikuasai oleh Portugis. Penyerangan itu dilakukan karena keberadaan Portugis di Malaka telah merugikan perdagangan Demak secara umum.
Demak mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Pada saat itu wilayah kerajaan Demak meliputi sebagian besar pesisir utara Pulau Jawa. Bahkan kekuasaan Demak meluas ke Sukadana, Palembang, Jambi, dan Banjar. Setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun 1546. Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran. Demak dilanda perang saudara antara Pangeran Prawoto dan Arya Penangsang. Dalam perselisihan itu Arya Penangsang berhasil membunuh Pangeran Prawoto. Akan tetapi, Arya Penangsang kemudian berhasil dibunuh oleh Hadiwijaya dari Pajang. Hadiwijaya adalah menantu Sultan Trenggono yang berhasil merebut Tahta Demak dari Arya panangsang dan memindahkan ibukota Kerajaan Demak ke Pajang. Peristiwa ini menjadi akhir dari kerajaan Demak dan awal bagi keruntuhan kerajaan maritim Jawa. Sejak saat itu kerajaan di Jawa mulai meninggalkan ekonomi perdagangan maritim dan mengembangkan ekonomi agraris di wilayah pedalaman.

3)        Kehidupan Ekonomi
Perekonomian kerajaan Demak menitikberatkan pada perdagangan maritim dan agraris. Sebagai kerajaan yang terletak di pesisir perdagangan Demak mengalami perkembangan pesat. Pelabuhan Demak berkembang menjadi pelabuhan transito yang menghubungkan perdagangan internasional antara Indonesia barat dan Indonesia Timur. Sebagai Pelabuhan perantara Demak sering dikunjungi pedagang-pedagang asing yang ingin membeli rempah-rempah dari Maluku. Selain sektor perdagangan maritim, Demak mengembangkan sektor agraris. Kondisi wilayah pedalaman yang subur mendorong perkembangan pertanian sawah. Beras menjadi salah satu komoditas dagang Demak yang diunggulkan dari sektor agraris. Pada abad XVI Demak dikenal sebagai penghasil beras terbesar di Indonesia.

4)        Kehidupan Agama
Kerajaan Demak merupakan pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Demak memiliki dewan dakwah yang disebut Walisanga. Dewan ini beranggotakan sembilan ulama besar yang terkenal dan dihormati. Sembilan ulama tersebut adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Para wali tersebut memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka mendirikan Masjid Agung Demak sebagai pusat dakwah di Jawa. Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Demak sering digunakan sebagai tempat bersidang para wali untuk membahas berbagai permasalahan agama dan Negara. Wali Sanga juga memiliki peran sebagai penasehat Kerajaan Demak.

5)        Kehidupan Sosial Budaya
Perkembangan agama Islam di Demak secara otomatis mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang sebagian besar adalah pemeluk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari agama Islam di Demak alkulturasi dengan tradisi masyarakat Jawa. seperti upacara selamatan dan yasinan. Pada masa Kerajaan Demak, Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar tradisi Sekaten yang sekarang masih berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Oleh karena itu, tradisi agama Islam di Demak berbeda dengan tradisi Islam di Arab. Masjid Demak juga memiliki bentuk yang unik. Masjid Agung Demak memiliki bentuk atap tumpang yang bertingkat tiga. Bentuk ini merupakan ciri bangunan asli masyarakat Jawa. Dengan demikian, masyarakat Jawa di Demak telah mampu memajukan kebudayaan Islam dan kebudayaan lama menjadi kebudayaan baru yang bisa diterima oleh masyarakat.

B.       Kerajaan Mataram

1)        Kondisi Geografis
Kerajaan Mataram terletak di pedalaman Jawa Tengah dengan pusatnya di Kotagede. Wilayah Mataram dikelilingi oleh jajaran gunung dan pegunungan seperti Gunung Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Gunung Lawu, Pegunungan Serayu, Pegunungan Kendeng, dan Pegunungan Sewu. Di antara jajaran gunung dan pegunungan tersebut mengalir sungai-sungai besar seperti sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Sebagian besar kondisi tanah di Mataram merupakan tanah aluvial dan vulkanik yang berasal dari endapan material sungai dan gunung api. Tanah ini sangat subur sehingga cocok untuk aktivitas pertanian. Kondisi ini mendorong perkembangan ekonomi agraris kerajaan Mataram.

2)        Kehidupan Politik
Keberadaan Mataram sebagai kerajaan Islam dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan pada pertengahan abad XVI. Selanjutnya pada masa pemerintahan Panembahan Senopati Mataram mulai melakukan politik ekspansi untuk menaklukkan daerah-daerah lain di sekitarnya Panembahan Senopati berhasil menaklukkan Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Akan tetapi, usahanya untuk menaklukkan Surabaya gagal. Sepeninggal Panembahan Senopati politik ekspansi Mataram dilakukan oleh Sultan Agung. Ia bercita-cita menyatukan seluruh Jawa dibawah kekuasaan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Mataram mencapai puncak kejayaan. Seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura mengakui kedaulatan Mataram. Surabaya berhasil ditaklukan pada tahun 1625. Di Jawa Barat kekuasaan Mataram tertanam di wilayah Cirebon Sumedang dan ukur. Akan tetapi Ambisi Sultan Agung untuk mempersatukan seluruh Jawa dibawah kekuasaan Mataram tidak berhasil. Sultan Agung tidak bisa menaklukkan Banten yang menjadi saingan nya di barat. Sultan Agung juga gagal mengusir VOC dari Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung menyerang kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertama pada tahun 1628 mengalami kegagalan dan Mataram menderita kerugian besar. Selanjutnya, pada tahun 1629 Sultan Agung mencoba melakukan serangan kedua. Akan tetapi, serangan ini juga mengalami kegagalan. VOC berhasil menghancurkan gudang gudang beras yang ditemukan di Tegal dan Cirebon. VOC juga menganjurkan kapal-kapal yang akan digunakan untuk mengangkut pasukan Mataram ke Batavia. Oleh karena itu, pasukan Mataram terpaksa menempuh perjalanan darat  menuju ke Batavia. Pasukan Mataram mengalami kelelahan dan Kelaparan sehingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh VOC.

3)        Kehidupan Ekonomi
Mataram merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan perekonomian di bidang pertanian kondisi tanah yang subur menyebabkan hasil pertanian melimpah. Melimpahnya hasil pertanian juga didukung oleh jumlah tenaga kerja yang besar. Oleh karena itu, pertanian di Mataram dapat berkembang pesat. Pertanian Mataram menghasilkan beras dengan jumlah banyak. Beras merupakan komoditas dagang utama dari Mataram. Pada abad XVII Mataram dikenal sebagai kerajaan penghasil beras terbesar di Indonesia. Pada masa Sultan Agung Mataram mengembangkan sektor perdagangan. Sultan Agung menggunakan kota kota pelabuhan di pesisir utara Jawa untuk mengekspor beras Mataram. Selain itu, Mataram mengimpor beberapa barang asing melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa tersebut.

4)        Kehidupan Agama
Pada masa kerajaan Mataram nilai-nilai Islam sudah berakulturasi dengan kebudayaan lokal dan Hindu-Budha. Sultan Agung mendorong perkembangan akulturasi kebudayaan tersebut. Sultan Agung berusaha untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam tradisi Jawa. Proses akulturasi ini terlihat pada pembuatan kalender Jawa yang menggabungkan tahun Hijriyah dan tahun Saka. Selain itu, Sultan Agung menulis Kitab sastra gending yang menjelaskan tentang. Ajaran Manunggaling kawulo Gusti atau bersatunya Tuhan dengan manusia. Ajaran Ini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Siti Jenar dari Demak. Dalam perkembangannya ajaran Manunggaling kawulo Gusti sangat berpengaruh terhadap kepercayaan Kejawen di Mataram. Kejawen adalah kepercayaan hasil sinkretisme antara agama Islam dan kepercayaan lokal masyarakat Jawa. Bagi sebagian masyarakat Mataram, Kejawen telah menjadi kepercayaan sekaligus Pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman, keselarasan, dan keseimbangan antara lahir dan batin.

5)        Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan agraris yang terletak di pedalaman Jawa Tengah, kehidupan sosial masyarakat Mataram bersifat feodal. Dalam sistem feodalisme derajat seorang dalam masyarakat dinilai berdasarkan besar kecilnya tanah yang dimiliki. Sistem feodalisme di Mataram memunculkan struktur masyarakat baru berdasarkan atas penguasaan tanah. Struktur masyarakat tersebut terdiri atas golongan bendoro, priyayi, dan wong cilik. Kehidupan masyarakat feodal sangat erat dengan hubungan patron-klien. Dalam hubungan ini raja sebagai patron harus mampu mengayomi rakyatnya dengan baik dan rakyat sebagai klien harus patuh dan setia kepada raja.

C.      Kerajaan Banten

1)        Kondisi Geografis
Banteng memiliki wilayah strategis untuk dikembangkan sebagai pusat perdagangan internasional. Banten terletak di tepi Selat Sunda yang merupakan pintu gerbang kepulauan Indonesia di bagian selatan. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Sunda semakin ramai. Kondisi ini secara otomatis berpengaruh terhadap perkembangan Banten sebagai kerajaan Islam di Jawa bagian barat. Dengan demikian ramainya jalur pelayaran di Selat Sunda Pelabuhan Banten sering dikunjungi para pedagang asing.

2)        Kehidupan Politik
Maulana Hasanudin adalah raja pertama Banten yang berkuasa pada tahun 1522 - 1570. Pada masa pemerintahan Hasanudin Banten berkembang menjadi pusat perdagangan penting di Selat Sunda. Ia juga memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada di Lampung. Dengan demikian, Hasanuddin telah menciptakan dasar-dasar kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Setelah Hasanuddin wafat pada tahun 1570, ia digantikan oleh putranya bernama Maulana Yusuf. Di bawah kepemimpinan Maulana Yusuf Banten berhasil menaklukkan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Dengan takluknya kerajaan Pajajaran pamor Banten semakin meningkat dan wilayah kekuasaannya VOC bertambah luas. Banten menguasai sebagian besar wilayah Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa Banten mencapai puncak kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Untuk menjaga keamanan di Selat Sunda yang membangun armada laut yang kuat. Kapal-kapal dagang Banten aktif menyelenggarakan perdagangan di Indonesia. Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara asing seperti Inggris, Perancis, Cina, Persia, dan Arab. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa menjalin hubungan diplomatik dengan sejumlah kerajaan Islam di Indonesia seperti Aceh Darussalam, Makassar, Cirebon, dan Ternate. Hubungan diplomatik tersebut selain untuk meningkatkan perdagangan juga bertujuan mencari dukungan dalam melawan VOC yang berkuasa di  Batavia.

3)        Kehidupan Ekonomi
Sebagai kerajaan yang terletak di pesisir Selat Sunda, aktivitas perdagangan di pelabuhan Banten berkembang pesat. Pelabuhan Banten berubah menjadi Bandar transito yang ramai disinggahi kapal-kapal asing untuk membeli lada. Pada abad XVI-XVII masehi lada menjadi salah satu komoditas perdagangan yang memiliki nilai jual tinggi. Pada saat itu Banten merupakan salah satu Negeri penghasil lada yang besar di Indonesia. Para penguasa Banten menaruh perhatian lebih terhadap perkembangan tanaman lada. Bahkan mereka melakukan politik ekspansi untuk menaklukkan daerah penghasil lada di Lampung.
Selain mengembangkan tanaman lada, para penguasa Banten mengembangkan pertanian sawah untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduknya. Pada tahun 1663 - 1677 Sultan Ageng Tirtayasa membangun sistem irigasi besar-besaran di Banten. Kanal-kanal baru sebesar 30 - 40 km dibangun dengan memperkerjakan hingga 16.000 orang. Kanal-kanal ini mampu mengakhiri sekitar 30.000 - 40.000 hektare persawahan baru dan ribuan hektare perkebunan kelapa.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa kehidupan ekonomi masyarakat Banten sangat makmur. Ibu kota Banten diperkirakan mengalami pertumbuhan jumlah penduduk dari sekitar 150.000 jiwa pada awal kekuasaan Sultan Ageng menjadi 200.000 jiwa pada akhir kekuasaannya. Ibu kota Banten, Kota Surosowan berkembang menjadi kota Kosmopolitan. Kota tersebut dihuni para pedagang asing. Kemakmuran Banten merupakan bukti bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah pemimpin hebat yang sepak terjangnya perlu diteladani.

4)        Kehidupan Agama
Sejak masa pemerintahan Maulana Hasanuddin penyebaran Islam di Banten dilakukan secara intensif. Maulana Hasanudin merupakan tokoh sekaligus penguasa pertama di Banten yang menyebarkan agama Islam. Ia menjadikan Banten sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa bagian barat.
Demi menyebarkan Islam di Pulau Jawa bagian barat, Hasanuddin membuat tiga perubahan besar. Pertama, perubahan dalam bidang politik. Kedua, perubahan dalam bidang kebudayaan. Ketiga, perubahan ekonomi. Selain itu, Banten menjadi lebih mudah untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara lain untuk mendukung perkembangan agama Islam di Banten. Dengan ketiga kebijakan tersebut Maulana Hasanuddin mampu mengislamkan masyarakat Banten.

5)        Kehidupan Sosial Budaya
Pada masa Sultan Agung Tirtayasa, surosowan telah berkembang menjadi kota Kosmopolitan yang dihuni oleh berbagai etnis dan bangsa. Masyarakat Banten pun mengembangkan sikap toleransi. Meskipun Sebagian besar masyarakat Banten beragama Islam, mereka menghargai kepercayaan yang dianut oleh bangsa lain. Bentuk toleransi terlihat dari adanya Bangunan pemujaan berupa klenteng di Kampung Pecinan yang dihuni oleh etnis Cina. Sikap toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat Banten tersebut patut diteladani dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap tersebut kehidupan masyarakat dapat berlangsung harmonis.

D.      Kerajaan Cirebon

1)        Kondisi Geografis
Terletak di Pantai Utara Jawa Barat dan menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
2)        Kehidupan Politik
Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Cirebon adalah Walangsungsang, namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo). Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan Pajajaran yang belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di Jawa Barat. Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Negarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahannya, Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kendati demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam suasana perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram , Panembahan Senapati, membantu para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja Cirebon sebagai keturunan orang suci karena Cirebon lebih dahulu menerima Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian pulau Jawa. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada masa Panembahan Girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta, mendapat tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang merupakan sumber tenaga). Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan menjadi proteksi VOC. Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal dunia (1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh.
3)        Kehidupan Ekonomi
Setelah perjanjian 7 Januari 1681 antara kerajaan Cirebon dan VOC, keraton Cirebon semakin jauh dari kehidupan kelautan dan perdagangan, karena VOC memegang hak monopoli atas beberapa jenis komoditas perdagangan dan pelabuhan.
4)        Kehidupan Sosial
Cirebon berasal dari kata “caruban” yang artinya campuran. Diperkirakan masyarakat Cirebon merupakn campuran dari kelompok pedagang pribumi dengan keluarga-keluarga Cina yang telah menganut Islam. Menurut Sumber berita tertua tentang Cirebon, satu rombongan keluarga Cina telah mendarat dan menetap di Gresik. Seorang yang paling terkemuka adalah Cu-cu, Keluarga Cu-cu yang sudah menganut agama Islam kemudian mendapat kepercayaan dari pemerintah Demak untuk mendirikan perkampungan di daerah Barat. Atas kesungguhan dan ketekunan mereka bekerja maka berdirilah sebuah perkampungan yang disebut Cirebon.
5)        Kehidupan Budaya
Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi Kesultanan Cirebon. Misalnya, melaksanakan Panjang Jimat (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.
Sumber :

-             Buku paket Sejarah Indonesia Intan Pariwara

1 comment:

  1. prediksi togel hari ini https://angkamistik.net/prediksi-togel-sgp-mbah-jambrong-15-mei-2019-akurat/

    ReplyDelete

Pahamilah Dirimu Sendiri

  https://www.shopback.co.id/katashopback/yuk-pahami-dirimu-dengan-4-cara-memahami-diri-sendiri-ini Diri sendiri boleh jadi adalah orang per...