KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA
DISUSUN OLEH :
Kevin Pratama Sugiarto
(X MIPA 2/19)
Sejarah Indonesia
SMA Negeri 1
Wonosari
A.
Kerajaan Demak
1)
Kondisi Geografis
Kerajaan Demak terletak di
pesisir utara Jawa Tengah. Lingkungan alam Demak cukup subur dan cocok untuk
pertanian. Keberadaan Kali Tuntang, Kali Buyaran, dan Kali Serang memengaruhi
perkembangan pertanian di Demak. Selain digunakan untuk irigrasi pertanian
sawah, ketiga sungai tersebut juga ikut menyuburkan tanah pertanian dengan
sedimen lumpur yang subur. Wilayah Demak pedalaman yang subur menyediakan hasil
panen yang melimpah. Sementara itu, wilayah pesisir digunakan sebagai pelabuhan
dagang. Pada awal abad XVI pelabuhan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan
internasional di wilayah pantai utara Jawa. Oleh karena itu, Demak dapat
berkembang menjadi kerajaan besar dan mampu menaklukkan Kerajaan Majapahit.
2)
Kehidupan Politik
Kerajaan Demak didirikan oleh
Raden Patah pada awal abad XVI. Raden Patah berkuasa pada tahun 1500-1518.
Sepeninggal Raden Patah, Demak dipimpin oleh Pati Unus. Ia sangat terinspirasi
oleh Gajah Mada untuk menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim terbesar di
Indonesia seperti Majapahit. Oleh karena itu, Pati Unus Membangun angkatan laut
yang kuat. Dengan angkatan laut tersebut Pati Unus pernah menyerang Malaka yang
dikuasai oleh Portugis. Penyerangan itu dilakukan karena keberadaan Portugis di
Malaka telah merugikan perdagangan Demak secara umum.
Demak mencapai puncak kejayaan pada
masa pemerintahan Sultan Trenggono. Pada saat itu wilayah kerajaan Demak
meliputi sebagian besar pesisir utara Pulau Jawa. Bahkan kekuasaan Demak meluas
ke Sukadana, Palembang, Jambi, dan Banjar. Setelah Sultan Trenggono wafat pada
tahun 1546. Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran. Demak dilanda perang
saudara antara Pangeran Prawoto dan Arya Penangsang. Dalam perselisihan itu
Arya Penangsang berhasil membunuh Pangeran Prawoto. Akan tetapi, Arya
Penangsang kemudian berhasil dibunuh oleh Hadiwijaya dari Pajang. Hadiwijaya
adalah menantu Sultan Trenggono yang berhasil merebut Tahta Demak dari Arya
panangsang dan memindahkan ibukota Kerajaan Demak ke Pajang. Peristiwa ini
menjadi akhir dari kerajaan Demak dan awal bagi keruntuhan kerajaan maritim
Jawa. Sejak saat itu kerajaan di Jawa mulai meninggalkan ekonomi perdagangan
maritim dan mengembangkan ekonomi agraris di wilayah pedalaman.
3)
Kehidupan Ekonomi
Perekonomian kerajaan Demak
menitikberatkan pada perdagangan maritim dan agraris. Sebagai kerajaan yang
terletak di pesisir perdagangan Demak mengalami perkembangan pesat. Pelabuhan
Demak berkembang menjadi pelabuhan transito yang menghubungkan perdagangan
internasional antara Indonesia barat dan Indonesia Timur. Sebagai Pelabuhan
perantara Demak sering dikunjungi pedagang-pedagang asing yang ingin membeli
rempah-rempah dari Maluku. Selain sektor perdagangan maritim, Demak
mengembangkan sektor agraris. Kondisi wilayah pedalaman yang subur mendorong
perkembangan pertanian sawah. Beras menjadi salah satu komoditas dagang Demak
yang diunggulkan dari sektor agraris. Pada abad XVI Demak dikenal sebagai
penghasil beras terbesar di Indonesia.
4)
Kehidupan Agama
Kerajaan Demak merupakan pusat
penyebaran Islam di Pulau Jawa. Demak memiliki dewan dakwah yang disebut Walisanga.
Dewan ini beranggotakan sembilan ulama besar yang terkenal dan dihormati. Sembilan
ulama tersebut adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria,
Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Syekh Maulana
Malik Ibrahim. Para wali tersebut memiliki peran besar dalam penyebaran Islam
di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka mendirikan Masjid Agung
Demak sebagai pusat dakwah di Jawa. Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Demak
sering digunakan sebagai tempat bersidang para wali untuk membahas berbagai
permasalahan agama dan Negara. Wali Sanga juga memiliki peran sebagai penasehat
Kerajaan Demak.
5)
Kehidupan Sosial
Budaya
Perkembangan agama Islam di
Demak secara otomatis mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang sebagian
besar adalah pemeluk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari agama Islam di Demak
alkulturasi dengan tradisi masyarakat Jawa. seperti upacara selamatan dan yasinan. Pada masa Kerajaan Demak, Sunan Kalijaga meletakkan
dasar-dasar tradisi Sekaten yang
sekarang masih berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Oleh karena
itu, tradisi agama Islam di Demak berbeda dengan tradisi Islam di Arab. Masjid
Demak juga memiliki bentuk yang unik. Masjid Agung Demak memiliki bentuk atap
tumpang yang bertingkat tiga. Bentuk ini merupakan ciri bangunan asli
masyarakat Jawa. Dengan demikian, masyarakat Jawa di Demak telah mampu
memajukan kebudayaan Islam dan kebudayaan lama menjadi kebudayaan baru yang
bisa diterima oleh masyarakat.
B.
Kerajaan Mataram
1)
Kondisi Geografis
Kerajaan Mataram terletak di
pedalaman Jawa Tengah dengan pusatnya di Kotagede. Wilayah Mataram dikelilingi
oleh jajaran gunung dan pegunungan seperti Gunung Perahu, Gunung Sindoro,
Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Gunung Lawu,
Pegunungan Serayu, Pegunungan Kendeng, dan Pegunungan Sewu. Di antara jajaran
gunung dan pegunungan tersebut mengalir sungai-sungai besar seperti sungai
Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Sebagian besar
kondisi tanah di Mataram merupakan tanah aluvial dan vulkanik yang berasal dari
endapan material sungai dan gunung api. Tanah ini sangat subur sehingga cocok
untuk aktivitas pertanian. Kondisi ini mendorong perkembangan ekonomi agraris
kerajaan Mataram.
2)
Kehidupan Politik
Keberadaan Mataram sebagai
kerajaan Islam dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan pada pertengahan abad XVI.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Panembahan Senopati Mataram mulai melakukan
politik ekspansi untuk menaklukkan daerah-daerah lain di sekitarnya Panembahan Senopati
berhasil menaklukkan Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Akan
tetapi, usahanya untuk menaklukkan Surabaya gagal. Sepeninggal Panembahan
Senopati politik ekspansi Mataram dilakukan oleh Sultan Agung. Ia bercita-cita
menyatukan seluruh Jawa dibawah kekuasaan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan
Agung Mataram mencapai puncak kejayaan. Seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Timur termasuk Madura mengakui kedaulatan Mataram. Surabaya berhasil ditaklukan
pada tahun 1625. Di Jawa Barat kekuasaan Mataram tertanam di wilayah Cirebon
Sumedang dan ukur. Akan tetapi Ambisi Sultan Agung untuk mempersatukan seluruh
Jawa dibawah kekuasaan Mataram tidak berhasil. Sultan Agung tidak bisa
menaklukkan Banten yang menjadi saingan nya di barat. Sultan Agung juga gagal
mengusir VOC dari Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung menyerang kedudukan VOC di
Batavia. Serangan pertama pada tahun 1628 mengalami kegagalan dan Mataram
menderita kerugian besar. Selanjutnya, pada tahun 1629 Sultan Agung mencoba
melakukan serangan kedua. Akan tetapi, serangan ini juga mengalami kegagalan.
VOC berhasil menghancurkan gudang gudang beras yang ditemukan di Tegal dan
Cirebon. VOC juga menganjurkan kapal-kapal yang akan digunakan untuk mengangkut
pasukan Mataram ke Batavia. Oleh karena itu, pasukan Mataram terpaksa menempuh
perjalanan darat menuju ke Batavia.
Pasukan Mataram mengalami kelelahan dan Kelaparan sehingga dapat dikalahkan
dengan mudah oleh VOC.
3)
Kehidupan Ekonomi
Mataram merupakan kerajaan
agraris yang mengutamakan perekonomian di bidang pertanian kondisi tanah yang
subur menyebabkan hasil pertanian melimpah. Melimpahnya hasil pertanian juga
didukung oleh jumlah tenaga kerja yang besar. Oleh karena itu, pertanian di
Mataram dapat berkembang pesat. Pertanian Mataram menghasilkan beras dengan
jumlah banyak. Beras merupakan komoditas dagang utama dari Mataram. Pada abad
XVII Mataram dikenal sebagai kerajaan penghasil beras terbesar di Indonesia.
Pada masa Sultan Agung Mataram mengembangkan sektor perdagangan. Sultan Agung
menggunakan kota kota pelabuhan di pesisir utara Jawa untuk mengekspor beras
Mataram. Selain itu, Mataram mengimpor beberapa barang asing melalui pelabuhan
di pesisir utara Jawa tersebut.
4)
Kehidupan Agama
Pada masa kerajaan Mataram
nilai-nilai Islam sudah berakulturasi dengan kebudayaan lokal dan Hindu-Budha.
Sultan Agung mendorong perkembangan akulturasi kebudayaan tersebut. Sultan
Agung berusaha untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam tradisi Jawa. Proses
akulturasi ini terlihat pada pembuatan kalender Jawa yang menggabungkan tahun
Hijriyah dan tahun Saka. Selain itu, Sultan Agung menulis Kitab sastra gending
yang menjelaskan tentang. Ajaran Manunggaling kawulo Gusti atau bersatunya
Tuhan dengan manusia. Ajaran Ini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Siti
Jenar dari Demak. Dalam perkembangannya ajaran Manunggaling kawulo Gusti sangat
berpengaruh terhadap kepercayaan Kejawen di Mataram. Kejawen adalah kepercayaan
hasil sinkretisme antara agama Islam dan kepercayaan lokal masyarakat Jawa.
Bagi sebagian masyarakat Mataram, Kejawen telah menjadi kepercayaan sekaligus
Pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman, keselarasan, dan
keseimbangan antara lahir dan batin.
5)
Kehidupan Sosial
Budaya
Sebagai kerajaan agraris yang
terletak di pedalaman Jawa Tengah, kehidupan sosial masyarakat Mataram bersifat
feodal. Dalam sistem feodalisme derajat seorang dalam masyarakat dinilai
berdasarkan besar kecilnya tanah yang dimiliki. Sistem feodalisme di Mataram
memunculkan struktur masyarakat baru berdasarkan atas penguasaan tanah.
Struktur masyarakat tersebut terdiri atas golongan bendoro, priyayi, dan wong
cilik. Kehidupan masyarakat feodal sangat erat dengan hubungan patron-klien.
Dalam hubungan ini raja sebagai patron harus mampu mengayomi rakyatnya dengan
baik dan rakyat sebagai klien harus patuh dan setia kepada raja.
C.
Kerajaan Banten
1)
Kondisi Geografis
Banteng memiliki wilayah
strategis untuk dikembangkan sebagai pusat perdagangan internasional. Banten
terletak di tepi Selat Sunda yang merupakan pintu gerbang kepulauan Indonesia
di bagian selatan. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511,
jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Sunda semakin ramai. Kondisi ini
secara otomatis berpengaruh terhadap perkembangan Banten sebagai kerajaan Islam
di Jawa bagian barat. Dengan demikian ramainya jalur pelayaran di Selat Sunda
Pelabuhan Banten sering dikunjungi para pedagang asing.
2)
Kehidupan Politik
Maulana Hasanudin adalah raja
pertama Banten yang berkuasa pada tahun 1522 - 1570. Pada masa pemerintahan
Hasanudin Banten berkembang menjadi pusat perdagangan penting di Selat Sunda.
Ia juga memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada di Lampung. Dengan
demikian, Hasanuddin telah menciptakan dasar-dasar kemakmuran Banten sebagai
pelabuhan lada. Setelah Hasanuddin wafat pada tahun 1570, ia digantikan oleh
putranya bernama Maulana Yusuf. Di bawah kepemimpinan Maulana Yusuf Banten
berhasil menaklukkan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Dengan takluknya
kerajaan Pajajaran pamor Banten semakin meningkat dan wilayah kekuasaannya VOC
bertambah luas. Banten menguasai sebagian besar wilayah Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Sultan
Agung Tirtayasa Banten mencapai puncak kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil memajukan perdagangan Banten. Untuk menjaga keamanan di Selat Sunda
yang membangun armada laut yang kuat. Kapal-kapal dagang Banten aktif
menyelenggarakan perdagangan di Indonesia. Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin
hubungan diplomatik dengan negara-negara asing seperti Inggris, Perancis, Cina,
Persia, dan Arab. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa menjalin hubungan
diplomatik dengan sejumlah kerajaan Islam di Indonesia seperti Aceh Darussalam,
Makassar, Cirebon, dan Ternate. Hubungan diplomatik tersebut selain untuk
meningkatkan perdagangan juga bertujuan mencari dukungan dalam melawan VOC yang
berkuasa di Batavia.
3)
Kehidupan Ekonomi
Sebagai kerajaan yang terletak
di pesisir Selat Sunda, aktivitas perdagangan di pelabuhan Banten berkembang
pesat. Pelabuhan Banten berubah menjadi Bandar transito yang ramai disinggahi
kapal-kapal asing untuk membeli lada. Pada abad XVI-XVII masehi lada menjadi
salah satu komoditas perdagangan yang memiliki nilai jual tinggi. Pada saat itu
Banten merupakan salah satu Negeri penghasil lada yang besar di Indonesia. Para
penguasa Banten menaruh perhatian lebih terhadap perkembangan tanaman lada.
Bahkan mereka melakukan politik ekspansi untuk menaklukkan daerah penghasil
lada di Lampung.
Selain mengembangkan tanaman
lada, para penguasa Banten mengembangkan pertanian sawah untuk memenuhi
kebutuhan pokok penduduknya. Pada tahun 1663 - 1677 Sultan Ageng Tirtayasa
membangun sistem irigasi besar-besaran di Banten. Kanal-kanal baru sebesar 30 -
40 km dibangun dengan memperkerjakan hingga 16.000 orang. Kanal-kanal ini mampu
mengakhiri sekitar 30.000 - 40.000 hektare persawahan baru dan ribuan hektare
perkebunan kelapa.
Pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa kehidupan ekonomi masyarakat Banten sangat makmur. Ibu kota Banten
diperkirakan mengalami pertumbuhan jumlah penduduk dari sekitar 150.000 jiwa
pada awal kekuasaan Sultan Ageng menjadi 200.000 jiwa pada akhir kekuasaannya.
Ibu kota Banten, Kota Surosowan berkembang menjadi kota Kosmopolitan. Kota
tersebut dihuni para pedagang asing. Kemakmuran Banten merupakan bukti bahwa
Sultan Ageng Tirtayasa adalah pemimpin hebat yang sepak terjangnya perlu
diteladani.
4)
Kehidupan Agama
Sejak masa pemerintahan Maulana
Hasanuddin penyebaran Islam di Banten dilakukan secara intensif. Maulana
Hasanudin merupakan tokoh sekaligus penguasa pertama di Banten yang menyebarkan
agama Islam. Ia menjadikan Banten sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa bagian
barat.
Demi menyebarkan Islam di Pulau
Jawa bagian barat, Hasanuddin membuat tiga perubahan besar. Pertama, perubahan
dalam bidang politik. Kedua, perubahan dalam bidang kebudayaan. Ketiga,
perubahan ekonomi. Selain itu, Banten menjadi lebih mudah untuk menjalin
kerjasama dengan negara-negara lain untuk mendukung perkembangan agama Islam di
Banten. Dengan ketiga kebijakan tersebut Maulana Hasanuddin mampu mengislamkan
masyarakat Banten.
5)
Kehidupan Sosial
Budaya
Pada masa Sultan Agung
Tirtayasa, surosowan telah berkembang menjadi kota Kosmopolitan yang dihuni
oleh berbagai etnis dan bangsa. Masyarakat Banten pun mengembangkan sikap
toleransi. Meskipun Sebagian besar masyarakat Banten beragama Islam, mereka
menghargai kepercayaan yang dianut oleh bangsa lain. Bentuk toleransi terlihat
dari adanya Bangunan pemujaan berupa klenteng di Kampung Pecinan yang dihuni
oleh etnis Cina. Sikap toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat Banten
tersebut patut diteladani dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
sikap tersebut kehidupan masyarakat dapat berlangsung harmonis.
D.
Kerajaan Cirebon
1)
Kondisi Geografis
Terletak di Pantai Utara Jawa
Barat dan menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
2)
Kehidupan Politik
Sumber-sumber
setempat menganggap pendiri Cirebon adalah Walangsungsang, namun orang yang
berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif
Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati
(Wali Songo). Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah
keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja
Cirebon dan kemudian juga Banten. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah
kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan Pajajaran yang
belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di
Jawa Barat. Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Negarakertabhumi dan
Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal
dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahannya,
Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kendati demikian, hubungan kedua
kesultanan itu selalu berada dalam suasana perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak
pernah mengadakan perlawanan terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram ,
Panembahan Senapati, membantu para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk
memperkuat tembok yang mengelilingi kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja
Cirebon sebagai keturunan orang suci karena Cirebon lebih dahulu menerima
Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai
penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian pulau Jawa.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar
Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada
masa Panembahan Girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya
sendiri, Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh)
dan Kartawijaya (Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan
Kasepuhan dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin
Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta,
mendapat tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga
yang merupakan sumber tenaga). Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan
Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan
menjadi proteksi VOC. Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal dunia
(1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian
mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh.
3)
Kehidupan Ekonomi
Setelah
perjanjian 7 Januari 1681 antara kerajaan Cirebon dan VOC, keraton Cirebon
semakin jauh dari kehidupan kelautan dan perdagangan, karena VOC memegang hak
monopoli atas beberapa jenis komoditas perdagangan dan pelabuhan.
4)
Kehidupan Sosial
Cirebon
berasal dari kata “caruban” yang artinya campuran. Diperkirakan masyarakat
Cirebon merupakn campuran dari kelompok pedagang pribumi dengan
keluarga-keluarga Cina yang telah menganut Islam. Menurut Sumber berita tertua
tentang Cirebon, satu rombongan keluarga Cina telah mendarat dan menetap di
Gresik. Seorang yang paling terkemuka adalah Cu-cu, Keluarga Cu-cu yang sudah
menganut agama Islam kemudian mendapat kepercayaan dari pemerintah Demak untuk
mendirikan perkampungan di daerah Barat. Atas kesungguhan dan ketekunan mereka
bekerja maka berdirilah sebuah perkampungan yang disebut Cirebon.
5)
Kehidupan Budaya
Keraton
para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan
pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan
sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka
tetap meneruskan tradisi Kesultanan Cirebon. Misalnya, melaksanakan Panjang
Jimat (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya
Sunan Gunung Jati.
Sumber :
-
Buku paket
Sejarah Indonesia Intan Pariwara
prediksi togel hari ini https://angkamistik.net/prediksi-togel-sgp-mbah-jambrong-15-mei-2019-akurat/
ReplyDelete