Nilai-Nilai Kepahlawanan
1
Thomas Matulessy (Pattimura)
Thomas Matulessy (Pattimura) di Maluku. Pattimura lahir pada
tanggal 8 Juni 1783 dengan nama Thomas Matulessy. Ia pernah menjadi tentara
Inggris dengan pangkat sersan mayor. Kemudian ia terkenal dengan sebutan
Kapitan Pattimura.
Pada tanggal 16 Mei 1817 Pattimura memimpin rakyat Maluku
menentang Belanda dengan menyerbu benteng Duurstede dan Residen Belanda yang
bernama Van den Berg tewas dalam peristiwa itu. Raja-raja kecil di Maluku turut
membantu perjuangan Pattimura, seperti Raja Lha, Nolot, Tuhaja, Itawaku dan
Ihamaku. Selain itu juga Pattimura dibantu oleh Philip Latumahimma dan seorang
putri raja Maluku yang bernama Martha Khristina Tiahahu. Belanda merasa kewalahan
dengan perlawanan dari pasukan Pattimura ini. Lalu, Belanda mengajak Pattimura
untuk berunding, namun ditolaknya dengan tegas dan Pattimura dijatuhi hukuman
mati dengan cara digantung di depan Benteng Viktoria.
2 Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol atau Tuanku
Imam Malim Besar lahir pada tahun 1772 di Tanjung Bunga Pasaman,
Sumatera Barat. Tuanku Iman Bonjol adalah pemimpin Perang Padri tahun 1821-1837
Perang Padri adalah adanya pertentangan antara kaum adat dengan kaum Islam
(ulama). Kaum adat terdiri atas raja dan para pengikutnya, sebagian besar
masyarakat Minangkabau dikuasai oleh kaum adat. Perbuatan dan adat kebiasaan
para penghulu adat sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
Pada
awal abad ke-19 terjadi gerakan Wahabi yaitu gerakan agar ajaran Islam
dilaksasnakan secara murni sesuai Alquran dan Hadis Rosul. Pengikutnya gerakan
Wahabi disebut Kaum Padri. Kaum
adat dan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Raaf menyerang kaum Padri dengan
yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol/Peta Syarif yang disebut Kaum Putih.
Pada tanggal 29
Oktober 1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri
yang terkenal dengan Perjanjian Padang,
yang isinya “Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata.” .
pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap oleh Belanda dan
beliau wafat pada tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun, dimakamkan di
kampung Pineleng dekat Kota Manado.
Pangeran
Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir di
Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, dengan nama waktu kecil Ontowiryo,
putra Sultan Hamengku Buwono III. Beliau mendapat pendidikan agama Islam, keprajuritan
dan kepahlawanan. Juga budi pekerti, cinta kepada sesama manusia, cinta bangsa
dan cinta tanah air. Berkat pendidikan nenek buyutnya, Pangeran Diponegoro
menyadari
benar
bahwa kemerosotan bangsa dan negaranya adalah akibat adanya penjajahan Belanda Kerajaan
Mataram yang demikian besarnya pecah menjadi 4 kerajaan kecil akibat campur
tangan Belanda, yaitu Kerajaan Yogyakarta, Kerajaan Surakarta, Kerajaan Paku
Alam, dan Kerajaan Mangkunegaraan.
Perang Diponegoro terjadi tanggal 20 JUli 1825. Markas perang
Diponegoro di Gunung Manoreh, rakyat mengangkat Pangeran Diponegoro menjadi
sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid
Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama. Siasat Perang Diponegoro
adalah gerilya, berlangsung mulai tanggal 20Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Pangeran
Diponegoro ditangkap oleh Panglima tentara Belanda, Jenderal de Kock dan
Setelah ditahan selama 24 tahun oleh Belanda, pada tanggal 18 Januari 1855
beliau wafat dan dimakamkan di Kota Ujungpandang.
4Cut
Nyak Dien
Cut Nyak
Dien Kerajaan Aceh,1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Acehyang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI
Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur
melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum
pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat
marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan
Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi
karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak
Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah
pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok danrabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan
keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di
sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah
semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh
yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien
meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumeda
Teungku Umar
Teuku Umar yang dilahirkan diMeulaboh Aceh Barat pada tahun1854, adalah anak seorangUleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan
Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara
laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk
Makhudum Sati berasal dariMinangkabau. Salah seorang keturunan Datuk
Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang
Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang
itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan
Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad
Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai
anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman
sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam
menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi
seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Supriyadi
Supriyadi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 adalah pahlawan nasional Indonesia dan pemimpin pemberontakan pasukanPembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitarpada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan
Rakyat dalamKabinet Presidensial, tetapi digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo pada 20 Oktober 1945 karena Supriyadi tidak pernah muncul. Bagaimana
dan di mana Supriyadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Pada Oktober 1943, Jepang mendirikan
milisi PETA untuk membantu tentara Jepang menghadapi Sekutu. Supriyadi bergabung dengan PETA dengan pangkat
shodancho atau komandan platon, dan setelah mengikuti pelatihan ditugaskan di Blitar, Jawa Timur. Ia ditugaskan
mengawasi pekerja romusha. Penderitaan
pekerja-pekerja tersebut mendorongnya untuk memberontak melawan Jepang.
No comments:
Post a Comment